Akar Hujan
Dari mana hujan berasal? Ia duduk diam. Dingin menyusup perlahan ke sela-sela pikirannya. Lelaki itu tidak sedang mencari jawab. Ia sedang mengendapkan tanya. Dalam kesunyian yang tidak ia pilih, di ruang kecil tempat ia melepas segala riuh, pertanyaan itu kembali mengetuknya: “Dari mana hujan berasal?” Apakah dari langit yang sedang lelah? Atau dari dirinya sendiri—lelaki sederhana, berkepala penuh suara, yang tak tahu harus meletakkan sedih di mana? Yang hanya bisa memeluk lutut dan berharap: setidaknya, hujan bisa mewakilinya . Ia menatap rintik itu. Membiarkan matanya lekat pada deras yang turun perlahan, seakan mengalir masuk ke jiwanya. Ia tidak ingin tahu tentang awan, tekanan udara, atau siklus penguapan. Penjelasan semacam itu—terlalu ringan untuk menjawab beban yang ia rasakan. Baginya, logika kehilangan makna ketika hati sedang luka. Yang ia butuhkan bukan sains. Tapi perasaan yang bisa menyentuh perasaan. Dan dalam ruang yang sepi, hanya ditemani suara air yang ...