Akar Hujan

Dari mana hujan berasal?

Ia duduk diam. Dingin menyusup perlahan ke sela-sela pikirannya. Lelaki itu tidak sedang mencari jawab. Ia sedang mengendapkan tanya. Dalam kesunyian yang tidak ia pilih, di ruang kecil tempat ia melepas segala riuh, pertanyaan itu kembali mengetuknya:


“Dari mana hujan berasal?”


Apakah dari langit yang sedang lelah? Atau dari dirinya sendiri—lelaki sederhana, berkepala penuh suara, yang tak tahu harus meletakkan sedih di mana? Yang hanya bisa memeluk lutut dan berharap: setidaknya, hujan bisa mewakilinya  .


Ia menatap rintik itu. Membiarkan matanya lekat pada deras yang turun perlahan, seakan mengalir masuk ke jiwanya.


Ia tidak ingin tahu tentang awan, tekanan udara, atau siklus penguapan. Penjelasan semacam itu—terlalu ringan untuk menjawab beban yang ia rasakan.


Baginya, logika kehilangan makna ketika hati sedang luka. Yang ia butuhkan bukan sains. Tapi perasaan yang bisa menyentuh perasaan.


Dan dalam ruang yang sepi, hanya ditemani suara air yang menari di atap dan kaca jendela, sebuah sajak lahir. Tak ia ciptakan, tapi hadir begitu saja di kepalanya. Mengetuk-ngetuk lembut, lalu tumpah tanpa izin.


”Akar hujan adalah tangisan,

dari langit kepada bumi. 

Seperti mata kepada hati,

ia mengalir bukan karena ingin,

tapi karena tak sanggup lagi menyimpan.”


Lelaki itu diam. Membaca dalam sunyi. Tapi hatinya riuh. Sajak itu bukan hanya puisi. Ia adalah refleksi. Seolah alam menuliskan isi dirinya lewat rintik yang jatuh dari langit.


“Akar hujan adalah nyanyian,

dari langit kepada bumi.

Serupa kata pada rasa,

yang terlantun lewat udara,

menyampaikan pesan, 

yang hanya bisa dimengerti oleh jiwa.”


Ia tertegun. Hujan ternyata bukan sekadar air.

Ia adalah bahasa, bahasa alam yang hanya bisa dibaca dengan hati yang hening.


Ia mengerti kini, bahwa ada hal-hal yang tak akan pernah bisa dijelaskan oleh teori, karena memang ditakdirkan hanya untuk dirasa.


“Akar hujan adalah kenyataan,

dari langit kepada bumi.

Ia tidak datang tiba-tiba,

seperti kesedihanmu juga tidak.

Ia adalah hasil dari proses panjang,

dari perasaan yang tidak kau tahu kapan mulai bertumbuh.”


Seketika ia mengingat semua yang telah ia simpan dalam dirinya. Cerita-cerita lama, luka yang belum selesai, nama-nama yang pernah mengisi hidupnya, lalu hilang tanpa pesan.

Semuanya muncul kembali, dibasuh oleh hujan, dibelai oleh dingin.


“Kau sering bertanya tentang hujan,

tapi lupa bahwa jawabannya mungkin ada di matamu sendiri.

Pada tetes yang tak pernah kau biarkan jatuh,

pada perih yang diam-diam kau simpan.”


Ia mulai sadar. Mungkin bukan hujan yang sedang ia tanyai. Mungkin, ia sedang bertanya tentang dirinya sendiri. Dan sajak itu, yang lahir di kepalanya, adalah jawaban dari pertanyaan yang tak pernah ia ucapkan.


”Akar hujan adalah kamu,

yang mencari makna dari setiap hal,

tapi lupa bahwa tidak semua yang bermakna

harus bisa dijelaskan.”


Ia menghela napas panjang. Dadanya masih berat, tapi ada sesuatu yang mulai terasa hangat. Mungkin bukan karena jawaban. Tapi karena ia belajar untuk berhenti mengemis jawaban, dan mulai mengalami perasaan itu dengan sadar.


“Akar hujan tidak sesederhana kalimat ilmiah,

atau paragraf teoritis.

Ia adalah bisikan semesta,

yang hanya bisa dijawab oleh hati yang pernah diam.”


Ia menatap langit yang masih menangis. Tapi kini ia tidak lagi bertanya.

Ia membiarkan hujan jatuh ke pipinya. Mungkin bercampur dengan air mata.

Atau mungkin hanya ia yang merasa begitu.


”Akar hujan mungkin hanya Tuhan yang tahu.

Dan seperti hidup,

ia tak selalu perlu dipahami—cukup dirasakan,

cukup dinikmati sebagaimana adanya.”


Lelaki itu tersenyum kecil. Ada beban yang belum selesai,

tapi juga ada penerimaan yang pelan-pelan mulai tumbuh.


“Jika kau temukan satu dua kerumitan,

bawa saja pertanyaanmu kepada Tuhan,

jangan kau siksa dirimu dengan kebingungan.

Biarkan hatimu beristirahat,

biarkan kepalamu diam,

dan percayalah bahwa tidak semua yang tak tampak, berarti tak bermakna.”


Akar hujan, pikirnya, adalah bentuk pengingat paling sunyi dari langit kepada manusia:

bahwa hidup akan selalu punya sisinya sendiri untuk kita tangisi.

Tapi juga untuk kita hidupi.

Dengan perlahan.

Dengan sabar.

Dengan penuh makna, meski tanpa makna yang kita mengerti.

Komentar

Postingan Populer