Menilik lebih jauh ; Berbicara soal anak muda Maluku dan Weda.
Beberapa tahun kebelakang, kerap kali kita mendengar, membaca atau melihat mengenai sebuah fenomena yang sudah tak asing lagi bagi kita. Ada beberapa orang terdekat kita, kawan sekolah atau bahkan kita pun nyaris mengikuti fenomena itu. Fenomena yang bukan hanya melibatkan unsur ikut serta secara mandiri namun pula ada kesalahpahaman dalam beberapa aspek yakni “Anak muda Indonesia terkhususnya Maluku lebih memilih bekerja di banding melanjutkan kuliah”.
Sebenarnya sederhana saja jawabannya, yakni kembali kepada orientasi pribadi seseorang, namun berdasarkan pengamatan saya sendiri ada beberapa hal yang dapat menyebabkan hal tersebut terjadi. Setidaknya ada tiga kunci utama yang memang menjadi masalah dari fakta yang sudah sangat berakar ini yakni yang pertama adalah latar belakang pribadi, yang kedua adalah keinginan pribadi dan lapangan pekerjaan.
Pertama, latar belakang ekonomi. Setelah berdiskusi dengan beberapa teman dan melakukan observasi didapati salah satu dorongan utama mereka yang memutuskan untuk kerja ketimbang kuliah adalah karena ekonomi. Ekonomi memang kerap kali menjadi faktor utama seseorang memutuskan bekerja ketimbang harus kuliah. Di lansir dari Artikel yang di posting di Saburo Media dengan judul “Fenomena : Remaja Maluku lebih pilih kerja di Weda di banding Kuliah”, menjelaskan bahwa faktor utama anak muda Maluku memilih bekerja di Weda ketimbang berkuliah adalah karena terbatasnya ekonomi, mereka yang di wawancarai mengatakan bahwa mereka membutuhkan uang untuk berkuliah, untuk membayar SPP, untuk nongkrong diskusi dan lain sebagainya. (di post tanggal 23 September 2023).
Sementara di Maluku sendiri tingkat kemiskinan tampaknya masih naik-turun (fluktuatif). Data yang dikeluarkan BPS pada Maret 2023 memperlihatkan secara persentase, bahwa salah satu provinsi paling termiskin di Indonesia adalah Maluku sebesar 16,42 persen. Angka ini naik dari 0,19 persen pada September 2022 lalu.
Namun jika berbicara mengenai ekonomi tak terlepas pula dari realita yang ada, di lansir pula dari Saburo Media yang mewawancarai mereka yang memilih berkuliah banyak dari mereka yang mengatakan bahwa keputusan mereka berkuliah juga karena faktor ekonomi. Katanya mereka yang ingin berkuliah meski dengan latar belakang ekonomi tidak mampu menginginkan untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarga mereka dan salah satunya dengan berkuliah dan memiliki pekerjaan layak, ada pula dari mereka (notabene anak seorang petani dan nelayan) banyak yang mengatakan bahwa ekonomi bukan tolak ukur mereka berkuliah, karena banyak orang sukses yang lahir dari latar belakang ekonomi tidak mampu. Seperti anak tukang becak yang lulus kedokteran.
Yang kedua adalah Keinginan pribadi. Keinginan pribadi ini di dukung dari berbagai aspek, ada yang mengatakan kalo mereka ingin bekerja ke Weda adalah karena mereka ingin cepat-cepat menghasilkan uang, bahwa kuliah susah dan sebagainya.
Namun pada kenyataannya, kuliah bukan hanya berbicara mengenai belajar pada satu jurusan yang di tuju. Kuliah adalah bagaimana kita di bentuk dengan sebuah pemikiran, di bentuk dengan ilmu dan di bentuk dengan beberapa hal yang membuat kita punya wawasan, punya skill dan punya dasar-dasar yang bisa di aplikasikan kepada masyarakat dan orang banyak. Terlebih pada dunia kerja nantinya. Kuliah juga memberikan sebuah privilage bagi kita untuk berpeluang di kemudian hari, entah sesuai dengan pendidikan yang kita tempuh atau bahkan melenceng namun memberikan dampak baik bagi kita. Disamping banyaknya paradigma itu sebaiknya di coba dan di cari tahu, alih-alih menutup kenyataan.
Yang ketiga adalah lapangan pekerjaan. Sederhananya banyak di antara anak-anak yang memutuskan untuk bekerja dan tidak memilih untuk kuliah adalah karena mereka melihat banyaknya orang-orang yang berkuliah dan orang-orang yang telah lulus kuliah tidak mendapati lapangan pekerjaan atau dalam hal ini kita sebut saja “pengangguran berijazah atau pengangguran berpendidikan”. Mereka mengatakan bahwa banyak di antara mereka yang sudah bersusah-susah kuliah namun tidak pula mendapatkan pekerjaan, toh sama saja.
Kembali lagi hal ini di tekankan kepada paradigma dan juga stigma kita sendiri. Berbicara mengenai banyaknya “pengangguran berpendidikan” ini memang adalah sebuah kontroversi tersendiri di kalangan masyarakat. Perlu kita ketahui bersama pula bahwa mereka yang telah lulus berkuliah dan tidak mau bekerja sebab ada dua alasan utama yakni : karena pekerjaan tidak sesuai dengan jurusan yang di tempuh dan mereka enggan memulai untuk bekerja karena belum merasa pas atau barangkali gengsi karena tidak sesuai harapan mereka.
Berbicara mengenai dua hal tersebut, perlu kita lihat bersama pula bahwa jika kita terpacu hanya pada jurusan yang kita tempuh sedangkan tidak mengasah diri atau skill pada bidang lain yang nantinya di perlukan di dunia kerja hasilnya akan mendapati kita hanya “terpenjara keahlian” bidang yang kita fokuskan saja. Padahal dengan berkembangnya zaman kita memiliki peluang besar untuk mendapatkan pekerjaan, terlebih kita punya privilage sebagai seseorang yang memang punya skill. Semua tergantung kepada bagaimana kita memanfaatkan peluang itu sendiri, “maka pintar-pintarlah menganalisis peluang”. Lalu pada poin dimana mereka tidak mau memulai karena gengsi atau belum menemukan pekerjaan yang sesuai saya rasa ini juga merupakan sebuah problem tersendiri. Mereka yang terlalu memilih pekerjaan sebab menunggu nyaman dan sesuai akan lebih sulit untuk membuka peluang kerjanya, bukankah kenyamanan akan kita rasakan ketika kita telah masuk di dalamnya? Ketimbang menunggu sampai dapat ya pas? Ibarat kata “sebelum berjuang sudah tumbang duluan”.
Tiga permasalahan di atas adalah isu dan juga masalah yang perlu kita lihat lebih jauh, tapi kembali lagi kepada kesadaran kita sendiri. Sebagai anak muda kita adalah generasi penerus bangsa, adalah agent of change. Kita punya masa dan kita akan hidup lima atau sepuluh tahun kedepan dan untuk sampai pada masa itu kita mesti mempersiapkan diri dengan baik, karena semakin berubahnya tahun berkembang pula kehidupan ini. Memilih untuk berkuliah atau bekerja adalah pilihan kita sendiri, namun alangkah baiknya kita memikirkan efek jangka panjangnya, bukan hanya berdasarkan “ingin dan pingin” saja, namun pula melihat pada sudut pandang peluang lima atau sepuluh tahun lagi.
Alih-alih memutuskan dengan instan, lebih baik memilih dengan bijak. Dengan memikirkan resiko dan juga bonusnya, sebab kita punya banyak jatah untuk berkembang, jatah untuk berproses dan pastinya jatah untuk sukses di masa kita masing-masing.
Tulisan ini adalah bentuk dedikasi kepada masyarakat Maluku, terlebih bagi anak muda yang memang “memilih dan terpaksa memilih” untuk melanjutkan bekerja ketimbang kuliah. Semua memang kembali kepada ranah pilihan dan pemikiran, namun alangkah baiknya memilih dan memikirkan sesuatu secara matang dengan memperhitungkan jangka panjangnya jauh lebih baik, entah terlepas dari stigma dan konsekuensinya. Karena letak keberhasilan itu pada setiap proses bukan cuman pada hasilnya saja.
Komentar
Posting Komentar