Sajak Sebuah Rindu, Untuk Cinta Selamanya
Aku menyanyikan lagu rindu, di setiap sore yang bertabur senja.
Langit abu-abu sedari tadi tak menghalangi,
Ia memacu rasa berhamburan hingga tak terhalangi.
Aku takut pada sendu, sementara ia menari-nari di depan mata.
Aku takluk pada rindu, sementara ia melambai-lambai di seberang sana.
Sore ini masih sama seperti biasanya. Ada sunyi yang kian meramaikan, dan ramai yang kian terasa sunyi.
Meringkuk diriku pada kasur usang, beralaskan sebuah harapan, melihat ke atas langit-langit yang menyajikan segala kenangan.
Berhamburan hingga lari keluar.
Kepalaku tak dapat lagi menampung semua itu, sakit, sedih, marah, bahagia, haru, bertarung dalam jiwa lemah. Mengajak mencari jalan keluar namun nyatanya tiada.
“kamu hanya sedang rindu, jangan tumbang”, lirih semesta padaku.
“tapi ku tak tahu menjadi kokoh, sebab rinduku terlalu tajam untuk di peluk, terlalu perih untuk di genggam”, ku jawab.
Mataku terbuka, sungai kecil yang mengalir dari ujung mata kebawah telinga semakin deras seiring dengan hujan di luar yang tak mau kalah.
Aku memeluk harapan kuat-kuat, memasang kuda-kuda, bersiap menggempur rindu. Entah sudah seberapa lama memeluk ini lama-lama, namun kini tak lagi tertahan.
Aku menilik langit-langit kamar lagi dan lagi, sudah bukan kenangan yang terpampang disana, namun sosok penyejuk yang tengah berdiri dengan senyum lebar sembari melambai.
“nak, sudahlah. tabung dulu rindunya”. kalimat itu membasuh rinduku. “nanti kita pecahkan bersama”, lanjut sosok di sampingnya.
Keduanya memelukku dengan erat, tak mau terlepas. Semakin kuat, semakin hilang. Aku terpejam bersama dengan waktu yang beranjak menuju kelam.
Entah mimpi atau ilusi, hanya saja semua tergambar nyata.
Aku rindu, segalanya Pah Mah.
Komentar
Posting Komentar