Daun Bintang
Malam belum terlalu tua, tapi dunia sudah seperti selesai lebih dulu.
Di bawah langit yang menggigil, seorang lelaki duduk memeluk lututnya sendiri.
Bukan karena dingin, tapi karena ingin merasa ada yang bisa ia peluk selain hening itu sendiri.
Ia menatap langit, menunggu sesuatu yang tidak ia tahu namanya.
Mungkin cahaya.
Mungkin kelegaan.
Atau mungkin jawaban dari pertanyaan yang tak pernah sempat ia ucapkan keras-keras:
"Apakah semua yang tidak bersinar, selamanya akan tinggal tak terlihat?"
Langit tak menjawab.
Hanya menyodorkan bintang-bintang yang gemetar pelan, dan angin yang menyusup di antara sela dada yang mulai retak. Ia merasa seperti daun: terikat, tapi ringan.
Hidup, tapi tak dianggap. Ia tahu dirinya ada, tapi tak tahu apakah kehadirannya berarti. Ia bukan langit. Bukan pelita. Dan jelas bukan bintang. Ia hanya lelaki yang tidak tahu apakah makna bisa tumbuh dari bentuk yang tak bercahaya.
Namun ia tidak membenci angin. Meski angin kerap membuatnya goyah, ia tahu: angin tidak pernah berniat menjatuhkan, hanya menguji kesediaan untuk tetap bertahan.
Di saat pikiran mengembun dan dada menjadi telaga, hadirlah mereka. Satu per satu. Bukan sebagai jawab, tapi sebagai jeda.
Sembilan orang, dengan langkah sunyi dan mata yang tahu, bahwa luka tidak selalu butuh obat kadang hanya butuh ditemani.
Yang pertama datang, menyodorkan diam yang tak menghakimi.
Yang kedua, membawakan cerita lama yang membuat waktu terasa lunak.
Yang ketiga, menyodorkan pertanyaan kecil: "Masihkah kau ingat, kapan terakhir kau tertawa tanpa alasan?"
Yang keempat, tidak berkata apa-apa, hanya duduk di samping dan membiarkan jarak menjadi pelipur.
Yang kelima, meninggalkan pesan dalam lipatan buku—"daun pun punya nadanya sendiri."
Yang keenam datang seperti senja, lembut, dan pergi sebelum disadari.
Yang ketujuh adalah yang paling gaduh, tapi di balik tawanya, tersimpan keheningan yang tahu.
Yang kedelapan hanya datang untuk berkata: "Kau tak harus kuat. Hanya jangan hilang."
Dan
Yang kesembilan, menatap lelaki itu dengan mata yang tidak menyuruh, tidak menuntut, tidak mengukur. Ia hanya berkata:
“Kau tahu, menjadi daun pun tidaklah sia-sia. Ia mungkin tak bersinar seperti bintang, tapi ia tahu caranya bertahan, tahu caranya gugur dengan anggun, dan tahu caranya tumbuh kembali tanpa menyimpan dendam pada musim.”
Lelaki itu terdiam.
Bukan karena semua sudah selesai, tapi karena sesuatu di dalam dadanya akhirnya memilih untuk tidak melawan.
Ia menatap langit yang kini mulai redup.
Bintang tetap berkelip, tapi ia tak lagi iri. Karena kini ia tahu: tak semua yang berarti harus terang.
Ada juga yang tumbuh dalam diam, mengakar dalam sepi, dan menjadi rumah bagi cahaya orang lain.
Ia bukan bintang. Tapi mungkin, ia adalah daun yang menggenggam malam, yang tahu kapan harus tenang, dan kapan harus jatuh dengan cara yang tetap indah.
“Terima kasih,” bisiknya.
Bukan pada bintang, tapi pada sahabat-sahabat yang tidak memintanya jadi terang.
Hanya memintanya tetap ada. Tetap tumbuh. Tetap menjadi diri sendiri, meski tak semua bisa melihat betapa dalam ia hidup.
Dan malam pun berjalan.
Meninggalkan jejak-jejak warna yang tak terlihat mata, tapi menetap lama di dalam jiwa.
Daun Bintang, pikirnya, bukan tentang siapa yang paling bersinar, tapi siapa yang tetap bertahan meski tidak pernah dipanggil langit.
Komentar
Posting Komentar